Jumat, 28 Agustus 2009

PENGANTAR FIQIH DALAM EKONOMI ISLAM

Pendahuluan..

Fiqih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syariat, mengenai perilaku manusia dalam kehidupannya yang diperoleh dari dalil-dalil Islam secara rinci. Ruang lingkup fiqih adalah pada hukum-hukum Islam yang berupa peraturan-peraturan yang berisi perintah atau larangan, seperti: wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah (boleh). Hukum-hukum fiqih terdiri dari hukum-hukum yang menyangkut urusan ibadah dalam kaitannya dengan hubungan vertikal antara manusia dengan Allah, dan urusan muamalah dalam kaitannya dengan hubungan horizontal antara manusia dengan manusia lainnya.

Pengertian fiqih berbeda dengan pengertian syariah. Syariah adalah agama atau hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad untuk mengatur kehidupan manusia. Perbedaan yang paling mendasar antara fiqih dan syariah adalah syariah itu berupa wahyu ilahy, sedangkan fiqih merupakan hasil ijtihad (tafsiran) manusia yang ditafsirkan dari wahyu ilahy, berdasarkan pemahamannya tentang dimensi praktis dalam syariah.

Ruang lingkup fiqih mencakup segala aspek kehidupan manusia, seperti sosial, ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya. Aspek ekonomi dalam kajian fiqih sering disebut dalam bahasa arab, dengan istilah iqtishady. Iqtishady (ekonomi) adalah suatu cara bagaimana individu-individu dan masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan membuat pilihan di antara berbagai alternatif pemakaian atas alat-alat pemuas kebutuhan yang tersedia, sehingga kebutuhan manusia yang tidak terbatas dapat dipenuhi oleh manusia dengan alat pemuas kebutuhan yang terbatas.

Fiqih ekonomi (fiqih iqtishady) dalam Islam, mencakup tentang aturan-aturan atau rambu-rambu yang diperoleh dari hasil ijtihad manusia yang didasarkan pada wahyu Ilahi (Al-Qur’an dan Al-Hadist), berkenaan dengan bagaimana manusia (individu-individu dan masyarakat) dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, dengan membuat pilihan-pilihan dalam menggunakan sumber-sumber daya yang tersedia. Kajian fiqih ekonomi terfokus pada bidang-bidang yang ada dalam ilmu ekonomi, yaitu peraturan mengenai hak milik individu, teori produksi, teori konsumsi, dan berbagai prinsip-prinsip ekonomi yang ada di dalamnya, seperti prinsip keadilan, prinsip ihsan (berbuat kebaikan), prinsip mas’uliyah (pertanggungjawaban), prinsip kifayah (kecukupan), prinsip wasathiyah (keseimbangan), prinsip waqi’iyah (realistis), prinsip kejujuran, dan sebagainya.

SUMBER-SUMBER FIQIH

Fiqih Islam secara umum berasal dari dua sumber utama, yaitu dalil naqly berupa Al-Qur’an dan Al-Hadist, dan dalil aqly berupa akal (ijtihad). Penetapan sumber fiqih Islam ke dalam tiga sumber, yaitu Al-Qur’an, Al-Hadist, dan akal (ijtihad) didasarkan pada hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh Mua’dz bin Jabal, yaitu:

Diriwayatkan oleh Mua’dz bin Jabal, bahwa ketika ia mendapat mandat dari Rasulullah sebagai duta ke Yaman, Rasulullah berkata kepadanya: “Bagaimana anda akan memutuskan suatu hukum apabila diharapkan kepada anda suatu perkara?” Mua’dz menjawab: “Saya akan berpedoman kepada kitab Allah Al-Qur’an”. Nabi bertanya: “Bagaimana kalau anda tidak menemukannya di dalam Al-Qur’an?”. Mua’dz menjawab: “Saya akan berpedoman kepada Sunnah (Al-Hadist)”. Nabi bertanya lagi: “Bagaimana kalau anda tidak menemukannya?”. Dan Muadz menjawab: “Saya akan berijtihad dengan akal pikiran saya”.

Al-Qur’an.

Al-Qur’an adalah kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan bahasa arab yang memiliki tujuan kebaikan dan perbaikan manusia, yang berlaku di dunia dan akherat. Al-Qur’an merupakan referensi utama umat Islam, termasuk di dalamnya masalah hukum dan perundang-undangan. Sebagai sumber hukum yang utama dan pertama, Al-Qur’an mesti dinomorsatukan oleh umat Islam dalam menemukan dan menarik hukum suatu perkara dalam kehidupan. Ayat-ayat Al-Qur’an mesti didahulukan dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang muncul ke permukaan, karena dari segi lafazh dan maknanya bersifat qath’iyyu al wuruud, yaitu tidak diragukan lagi keasliannya. Umat Islam dilarang mengambil hukum dan jawaban atas problematika dari luar Al-Qur’an selama hukum dan jawaban tersebut dapat ditemukan dalam nash-nash Al-Qur’an.


Al-Hadist.

Al-Hadist adalah segala yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan. Al-Hadist merupakan sumber fiqih ke dua setelah Al-Qur’an yang berlaku dan mengikat bagi umat Islam. Hal ini dipertegas Al-Qur’an dalam Surat Al-Hasyr ayat 7, yaitu:

“Dan apa yang berasal dari Rasulullah maka ambillah, dan apa yang dilarang maka tinggalkanlah, dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah pedih siksanya”.

Fungsi Al-Hadist dalam sistematika hukum Islam ada tiga, yaitu: 1) Memperkuat apa yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an, 2) Sebagai penjelas Al-Qur’an, yaitu merinci ayat-ayat Al-Qur’an yang global, membatasi ayat-ayat yang mutlak, dan mengkhususkan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum dalam aplikasinya, 3) Menetapkan hukum yang belum diatur di dalam Al-Qur’an.

Ijma’ dan Qiyas.

Ijma’ adalah kesepakatan mujtahid terhadap suatu hukum syar’i dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW. Suatu hukum syar’i agar bisa dikatakan sebagai ijma’, maka penetapan kesepakatan tersebut harus dilakukan oleh semua mujtahid, walau ada pendapat lain yang menyatakan bahwa ijma’ bisa dibentuk hanya dengan kesepakatan mayoritas mujtahid saja. Sedangkan qiyas adalah kiat untuk menetapkan hukum pada kasus baru yang tidak terdapat dalam nash (Al-Qur’an maupun Al-Hadist), dengan cara menyamakan pada kasus baru yang sudah terdapat dalam nash, dikarenakan oleh persamaan illat (kausa) hukum. Secara teknis penggunaan metode qiyas dimulai dengan identifikasi illat hukum yang terdapat dalam nash, dilanjutkan dengan memastikan apakah illat tersebut juga dimiliki oleh hukum baru yang tidak tersebut dalam nash, baru diambil kesimpulan bahwa kedua kasus itu sama illat, dan dengan kesamaan illat itu disimpulkan kesamaan hukum.


FIQIH MAQASHID SYARIAH

Maqashid syariah adalah tujuan-tujuan syariat dan rahasia-rahasia yang dimaksudkan oleh Allah dalam setiap hukum dari keseluruhan hukumNya. Inti dari tujuan syariah adalah “maslahah” atau manfaat. Keseluruhan produk hukum Islam adalah untuk kemaslahatan dan manfaat bagi manusia. Kemaslahatan manusia ini oleh Imam Ghozali dirinci dalam lima aspek kehidupan yang menjadi aspek pokok tujuan syariat. Ke lima aspek tersebut adalah: 1) terpeliharanya agama, 2) terpeliharanya jiwa, 3) terpeliharanya akal, 4) terpeliharanya keturunan, dan 5) terpeliharanya harta atau modal.

Dalam memelihara lima aspek pokok tujuan syariat di atas, ada dua metode yang digunakan, yaitu pemeliharaan secara preventif, dan pemeliharaan secara pro aktif. Metode preventif berarti melestarikan dan memelihara lima aspek tersebut dengan melarang perbuatan-perbuatan yang berakibat bagi kerusakan lima aspek tersebut, atau dengan memberikan hukuman berupa sanksi bagi yang melanggar. Contoh dalam pemeliharaan preventif ini adalah: sanksi bagi yang meninggalkan sholat (pemeliharaan agama), larangan membunuh (pemeliharaan jiwa), larangan minum-minuman yang memabukkan (pemeliharaan akal), larangan zina (pemeliharaan keturunan), larangan makan harta orang lain secara bathil (pemeliharaan harta). Sedangkan metode pro aktif dilakukan dengan cara memberikan perintah untuk mengerjakan amalan demi terpeliharanya ke lima aspek pokok tujuan syariat. Contoh dalam pemeliharaan pro aktif ini adalah: perintah sholat (pemeliharaan agama), perintah mengkonsumsi makanan yang halal dan baik (pemeliharaan jiwa), perintah belajar (pemeliharaan akal), perintah nikah (pemeliharaan keturunan), dan perintah bekerja (pemeliharaan harta).

Tujuan-tujuan syariah dalam ekonomi juga diatur dalam kaitannya dengan maqashid syariah. Sebagaimana aspek-aspek lain dalam kehidupan masyarakat, dalam hukum-hukum Islam yang mengatur perekonomian juga memiliki tujuan dan hikmah. Tujuan dan hikmah dalam sistem ekonomi adalah: 1) Perputaran atau sirkulasi (al tadaawul), 2) Jelas atau legal (al wudluuh), 3) Keadilan dalam harta (al adl fil al amwaal), 4) Terpeliharanya harta dengan menghindarkan dari kedzoliman.

Dalam tujuan sirkulasi, hendaknya harta atau modal yang dimiliki seseorang mengalami perputaran di tengah masyarakat dengan jalan infaq (belanja), baik infaq konsumsi, produksi, investasi maupun donasi. Tujuan jelas dan legal, ditujukan agar harta atau faktor produksi yang dimiliki oleh seseorang itu terhindar dari peluang adanya pertikaian dan perselisihan, sehingga harta tersebut mesti jelas statusnya dan legal kepemilikannya. Tujuan keadilan dalam harta adalah agar manusia menginfakkan harta tersebut melalui konsumsi, produksi investasi maupun donasi, dan menghindarkan diri dari perbuatan berlebihan atau infaq yang diharamkan oleh agama. Tujuan terpeliharanya harta dengan menghindarkan dari kedzaliman adalah melarang orang lain mengambil atau berbuat dzalim atas harta seseorang yang berakibat terjadinya kerusakan atau hilangnya harta itu.


KAIDAH FIQIH DALAM TRANSAKSI EKONOMI.

Kegiatan ekonomi merupakan salah satu dari aspek muamalah dari sistem Islam, sehingga kaidah fiqih yang digunakan dalam mengidentifikasi transaksi-transaksi ekonomi juga menggunakan kaidah fiqih muamalah. Kaidah fiqih muamalah adalah “al ashlu fil mua’malati al ibahah hatta yadullu ad daliilu ala tahrimiha” (hukum asal dalam urusan muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya). Ini berarti bahwa semua hal yang berhubungan dengan muamalah yang tidak ada ketentuan baik larangan maupun anjuran yang ada di dalam dalil Islam (Al-Qur’an maupun Al-Hadist), maka hal tersebut adalah diperbolehkan dalam Islam.

Kaidah fiqih dalam muamalah di atas memberikan arti bahwa dalam kegiatan muamalah yang notabene urusan ke-dunia-an, manusia diberikan kebebasan sebebas-bebasnya untuk melakukan apa saja yang bisa memberikan manfaat kepada dirinya sendiri, sesamanya dan lingkungannya, selama hal tersebut tidak ada ketentuan yang melarangnya. Kaidah ini didasarkan pada Hadist Rasulullah yang berbunyi: “antum a’alamu bi ‘umurid dunyakum” (kamu lebih tahu atas urusan duniamu). Bahwa dalam urusan kehidupan dunia yang penuh dengan perubahan atas ruang dan waktu, Islam memberikan kebebasan mutlak kepada manusia untuk menentukan jalan hidupnya, tanpa memberikan aturan-aturan kaku yang bersifat dogmatis. Hal ini memberikan dampak bahwa Islam menjunjung tinggi asas kreativitas pada umatnya untuk bisa mengembangkan potensinya dalam mengelola kehidupan ini, khususnya berkenaan dengan fungsi manusia sebagai khalifatul-Llah fil ‘ardlh (wakil Allah di bumi).

Efek yang timbul dari kaidah fiqih muamalah di atas adalah adanya ruang lingkup yang sangat luas dalam penetapan hukum-hukum muamalah, termasuk juga hukum ekonomi. Ini berarti suatu transaksi baru yang muncul dalam fenomena kontemporer yang dalam sejarah Islam belum ada/dikenal, maka transaksi tersebut “dianggap” diperbolehkan, selama transaksi tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip yang dilarang dalam Islam. Sedangkan transaksi-transaksi yang dilarang dalam Islam adalah transaksi yang disebabkan oleh faktor: 1) haram zatnya (objek transaksinya), 2) haram selain zatnya (cara bertransaksi-nya), 3) tidak sah/lengkap akadnya.


Haram Zatnya (Objek Transaksinya).

Dalam Islam, terdapat aturan yang jelas dan tegas mengenai obyek transaksi yang diharamkan, seperti minuman keras, daging babi, dan sebagainya. Oleh karena itu melakukan transaksi yang berhubungan dengan obyek yang diharamkan tersebut juga diharamkan. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih: “ma haruma fi’luhu haruma tholabuhu” (setiap apa yang diharamkan atas obyeknya, maka diharamkan pula atas usaha dalam mendapatkannya). Kaidah ini juga memberikan dampak bahwa setiap obyek haram yang didapatkan dengan cara yang baik/halal, maka tidak akan merubah obyek haram tersebut menjadi halal.


Haram Selain Zatnya (Cara Bertransaksi-nya).

Ada beberapa transaksi yang dilarang dalam Islam yang disebabkan oleh cara bertransaksi-nya yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah, yaitu: tadlis (penipuan), ikhtikar (rekayasa pasar dalam supply), bai’ najasy (rekayasa pasar dalam demand), taghrir (ketidakpastian), dan riba (tambahan).

Tadlis. Tadlis adalah sebuah situasi di mana salah satu dari pihak yang bertransaksi berusaha untuk menyembunyikan informasi dari pihak yang lain (unknown to one party) dengan maksud untuk menipu pihak tersebut atas ketidaktahuan atas informasi tersebut. Hal ini jelas-jelas dilarang dalam Islam, karena melanggar prinsip “an taraddin minkum” (sama-sama ridlo). Informasi yang disembunyikan tersebut bisa berbentuk kuantitas (quantity), kualitas (quality), harga (price), ataupun waktu penyerahan (time of delivery) atas objek yang ditransaksikan.

Ikhtikar. Ikhtikar adalah sebuah situasi di mana produsen/penjual mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara mengurangi supply (penawaran) agar harga produk yang dijualnya naik. Ikhtikar ini biasanya dilakukan dengan membuat entry barrier (hambatan masuk pasar), yakni menghambat produsen/penjual lain masuk ke pasar agar ia menjadi pemain tunggal di pasar (monopoli), kemudian mengupayakan adanya kelangkaan barang dengan cara menimbun stock (persediaan), sehingga terjadi kenaikan harga yang cukup tajam di pasar. Ketika harga telah naik, produsen tersebut akan menjual barang tersebut dengan mengambil keuntungan yang melimpah.

Bai’ Najasy. Bai’ Najasy adalah sebuah situasi di mana konsumen/pembeli menciptakan demand (permintaan) palsu, seolah-olah ada banyak permintaan terhadap suatu produk sehingga harga jual produk itu akan naik. Hal ini biasanya terjadi dalam bursa saham (praktek goreng-menggoreng saham). Cara yang bisa ditempuh bermacam-macam, seperti menyebarkan isu, melakukan order pembelian, dan sebagainya. Ketika harga telah naik maka yang bersangkutan akan melakukan aksi ambil untung dengan melepas kembali barang yang sudah dibeli, sehingga akan mendapatkan keuntungan yang besar.

Taghrir. Taghrir adalah situasi di mana terjadi incomplete information karena adanya ketidakpastian dari kedua belah pihak yang bertransaksi. Taghrir terjadi bila pihak yang bertransaksi merubah sesuatu yang seharusnya bersifat pasti menjadi tidak pasti. Dalam hal ini ada beberapa hal yang bersifat tidak pasti, yaitu kuantitas (quantity), kualitas (quality), harga (price), ataupun waktu penyerahan (time of delivery) atas objek yang ditransaksikan.

Riba. Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis, baik transaksi hutang piutang maupun jual beli. Riba dalam hutang piutang dimaksudkan untuk meminta kelebihan tertentu atas utang yang dipinjamkan pada saat awal transaksi (riba qard), atau memberikan tambahan pembayaran atas utang yang tidak bisa dikembalikan pada waktu jatuh tempo (riba jahiliyah). Riba dalam jual beli dikenakan atas pertukaran dua barang sejenis dengan timbangan/takaran yang berbeda (riba fadl), atau memberikan tambahan atas barang yang diserahkan kemudian (riba nasiah).


Tidak Sah/Lengkap Akadnya.

Setiap transaksi yang tidak sah/lengkap akadnya, maka transaksi itu dilarang dalam Islam. Ketidaksah/lengkapan suatu transaksi bisa disebabkan oleh: rukun (terdiri dari pelaku, objek, dan ijab kabul) dan syaratnya tidak terpenuhi, terjadi ta’alluq (dua akad yang saling berkaitan), atau terjadi two in one (dua akad sekaligus). Ta’alluq terjadi bila kita dihadapkan pada dua akad yang saling dikaitkan, di mana berlakunya akad pertama tergantung pada akad kedua. Two in one terjadi bila suatu transaksi diwadahi oleh dua akad sekaligus sehingga terjadi ketidakpastian (grarar) akad mana yang harus digunakan.


TEORI AKAD DALAM FIQIH EKONOMI ISLAM

Akad adalah pertalian ijab (yang diucapkan salah satu pihak yang mengadakan kontrak) dengan qabul (yang diucapkan pihak lain) yang menimbulkan pengaruh pada obyek kontrak. Pertalian ijab dan qabul ini mengikat kedua belah pihak yang saling bersepakat, yaitu masing-masing pihak dalam akad terikat untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing sesuai dengan kesepakatan. Di dalam akad, terms and condition-nya sudah ditetapkan secara rinci dan spesifik, sehingga bila salah satu atau kedua pihak yang terikat dalam akad tersebut melakukan wanprestasi (tidak dapat memenuhi kebutuhannya), maka ia/mereka akan menerima sanksi seperti dalam kesepakatan dalam akad.

Di dalam fiqih muamalah, konsep akad dibedakan dengan konsep wa’ad (janji). Wa’ad adalah janji antara satu pihak kepada pihak lainnya, yang mengikat satu pihak saja, yaitu pihak yang memberi janji berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya, sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya. Dalam wa’ad, terms and condition-nya belum ditetapkan secara rinci dan spesifik, sehingga pihak yang melakukan wanprestasi (tidak memenuhi janjinya), hanya akan menerima sanksi moral saja tanpa ada sanksi hukum.

Akad dalam fiqih muamalah dibagi ke dalam dua bagian, yaitu akad tabarru’ dan akad tijarah. Akad tabarru’ adalah segala macam perjanjian yang menyangkut transaksi yang tidak mengejar keuntungan (non profit transaction). Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong menolong dalam rangka berbuat kebaikan, sehingga pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari Allah, bukan dari manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada rekan transaksi-nya untuk sekedar menutupi biaya yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad, tanpa mengambil laba dari tabarru’ tersebut. Contoh dari akad tabarru’ adalah qard, wadi’ah, wakalah, rahn, hibah, dan sebagainya.

Akad tijarah adalah segala macam perjanjian yang menyangkut transaksi yang mengejar keuntungan (profit orientation). Akad ini dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan, karena itu bersifat komersiil. Hal ini didasarkan atas kaidah bisnis bahwa “business is an activity for a profit” (bisnis adalah suatu aktivitas untuk memperoleh keuntungan). Contoh dari akad tijarah adalah akad-akad bagi hasil berupa mudharabah, musyarakah, dan sebagainya, akad-akad jual beli berupa murabahah, salam, dan sebagainya, dan akad-akad sewa menyewa berupa ijarah, ijarah muntahia bi at tamlik, dan sebagainya.

Kaidah fiqih yang berkaitan dengan konsep akad antara tabarru’ dan tijarah ada dua, yaitu: 1). Akad tabarru’ tidak boleh dirubah menjadi akad tijarah, dan 2). Akad tijarah boleh dirubah menjadi akad tabarru’. Akad tabarru’ tidak boleh dirubah menjadi akad tijarah memberi arti bahwa dalam setiap transaksi yang asalnya bermaksud untuk tidak mendapatkan keuntungan, kemudian setelah terjadinya akad ternyata pihak yang terkait di dalamnya mengharapkan keuntungan dari transaksi tersebut, maka transaksi itu dilarang. Hal ini didasarkan atas kaidah prinsip: “kullu qardhin jarra manfa’ah fahuwa riba” (setiap qard yang mengambil manfaat adalah riba). Menggabungkan tabarru’ dengan manfa’ah adalah kedzaliman karena melakukan suatu akad berlainan dengan definisi akadnya, sehingga transaksi tersebut akan menimbulkan adanya riba nasi’ah. Hal ini juga melanggar prinsip “la tadzlimuna wa la tudzlamun” (jangan mendzolimi dan jangan sampai didzolimi).

Akad tijarah boleh dirubah menjadi akad tabarru’ memberi arti bahwa dalam setiap transaksi yang asalnya bertujuan mendapatkan keuntungan, kemudian setelah terjadinya akad pihak yang terkait di dalamnya meringankan/memudahkan pihak yang lain dengan menjadikan akad tersebut menjadi akad tabarru’ (tanpa ada tambahan keuntungan), maka transaksi itu dibolehkan, bahkan dalam situasi tertentu hal itu dianjurkan. Misalnya, terjadi suatu akad jual beli antara si A dan si B, di mana si A menjual barang X kepada si B dengan harga Rp. Y secara tangguh (dibayar pada suatu waktu yang ditentukan). Setelah terjadinya akad, pada saat jatuh tempo (maturity time) ternyata si B tidak dapat membayar hutang karena mengalami kesulitan ekonomi. Maka dalam kaidah fiqih, si A dibolehkan atau bahkan dianjurkan memberikan keringanan/kemudahan bagi si B untuk memberikan waktu tambahan dalam pembayaran hutangnya, atau kalau keadaan si A memang benar-benar tidak dapat membayar, si B diharapkan untuk memberikan keringanan berupa pembebasan hutang tersebut.

Selasa, 10 Februari 2009

Tafsir Ayat-ayat Riba



Para ulama sejak dahulu hingga kini, ketika membahas masalah ini, tidak melihat esensi riba guna sekadar mengetahuinya, tetapi mereka melihat dan membahasnya sambil meletakkan di pelupuk mata hati mereka beberapa praktik transaksi ekonomi guna mengetahui dan menetapkan apakah praktik-praktik tersebut sama dengan riba yang diharamkan itu sehingga ia pun menjadi haram, ataukah tidak sama.

Perbedaan pendapat dalam penerapan pengertian pada praktik-praktik transaksi ekonomi telah berlangsung sejak masa sahabat dan diduga akan terus berlangsung selama masih terus muncul bentuk-bentuk baru transaksi ekonomi. Perbedaan-perbedaan ini antara lain disebabkan oleh wahyu mengenai riba yang terakhir turun kepada Rasul saw. beberapa waktu sebelum beliau wafat, sampai-sampai 'Umar bin Khaththab r.a. sangat mendambakan kejelasan masalah riba ini.1 Beliau berkata: "Sesungguhnya termasuk dalam bagian akhir Al-Quran yang turun, adalah ayat-ayat riba. Rasulullah wafat sebelum beliau menjelaskannya. Maka tinggalkanlah apa yang meragukan kamu kepada apa yang tidak meragukan kamu."2

Keragu-raguan terjerumus ke dalam riba yang diharamkan itu menjadikan para sahabat, sebagaimana dikatakan 'Umar r.a., "meninggalkan sembilan per sepuluh yang halal".3

Sebelum membuka lembaran-lembaran al-Quran yang ayat-ayatnya berbicara tentang riba, terlebih dahulu akan dikemukakan selayang pandang tentang kehidupan ekonomi masyarakat Arab semasa turunnya Al-Quran.Sejarah menjelaskan bahwa Tha'if, tempat pemukiman suku Tsaqif yang terletak sekitar 75 mil sebelah tenggara Makkah, merupakan daerah subur dan menjadi salah satu pusat perdagangan antar suku, terutama suku Quraisy yang bermukim di Makkah. Di Tha'if bermukim orang-orang Yahudi yang telah mengenal praktik-praktik riba, sehingga keberadaan mereka di sana menumbuhsuburkan praktik tersebut.

Suku Quraisy yang ada di Makkah juga terkenal dengan aktivitas perdagangan, bahkan Al-Quran mengabarkan tentang hal tersebut dalam QS 106. Di sana pun mereka telah mengenal prktek-praktik riba. Terbukti bahwa sebagian dari tokoh-tokoh sahabat Nabi, seperti 'Abbas bin 'Abdul Muththalib (paman Nabi saw.), Khalid bin Walid, dan lain-lain, mempraktikkannya sampai dengan turunnya larangan tersebut. Dan terbukti pula dengan keheranan kaum musyrik terhadap larangan praktik riba yang mereka anggap sama dengan jual beli (QS al-Baqarah, 2: 275). Dalam arti mereka beranggapan bahwa kelebihan yang diperoleh dari modal yang dipinjamkan tidak lain kecuali sama dengan keuntungan (kelebihan yang diperoleh dari) hasil perdagangan.

Penjelasan al-Quran tentang Masalah Riba

Kata riba dari segi bahasa berarti "kelebihan". Sehingga bila kita hanya berhenti kepada arti "kelebihan" tersebut, logika yang dikemukakan kaum musyrik di atas cukup beralasan. Walaupun al-Quran hanya menjawab pertanyaan mereka dengan menyatakan "Tuhan menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (QS al-Baqarah, 2:275), pengharaman dan penghalalan tersebut tentunya tidak dilakukan tanpa adanya "sesuatu" yang membedakannya, dan "sesuatu" itulah yang menjadi penyebab keharamannya.

Dalam Al-Quran ditemukan kata riba terulang sebanyak delapan kali, terdapat dalam empat surat, yaitu al-Baqarah, Ali 'Imran, al-Nisa', dan al-Rum. Tiga surat pertama adalah "Madaniyyah" (turun setelah Nabi hijrah ke Madinah), sedang surat al-Rum adalah "Makiyyah" (turun sebelum beliau hijrah). Ini berarti ayat pertama yang berbicara tentang riba adalah QS al-Rum, 30: 39: Dan sesuatu riba (kelebihan) yang kamu berikan agar ia menambah kelebihan pads harts manusia, maka riba itu tidak menambah pads sisi Allah ...Selanjutnya Al-Sayuthi, mengutip riwayat-riwayat Bukhari, Ahmad, Ibn Majah, Ibn Mardawaih, dan Al-Baihaqi, berpendapat bahwa ayat yang terakhir turun kepada Rasulullah saw. adalah ayat-ayat yang dalam rangkaiannya terdapat penjelasan terakhir tentang riba,4 yaitu ayat 278-281 surat al-Baqarah: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba, jika kamu orang-orang yang beriman.Selanjutnya Al-Zanjani,5 berdasarkan beberapa riwayat antara lain dari Ibn Al-Nadim dan kesimpulan yang dikemukakan oleh Al-Biqa'i serta orientalis Noldeke, mengemukakan bahwa surat Ali 'Imran lebih dahulu turun dari surat Al-Nisa'. Kalau kesimpulan mereka diterima, maka berarti ayat 130 dari surat Ali 'Imran yang secara tegas melarang memakan riba secara berlipat ganda, merupakan ayat kedua yang diterima Nabi, sedangkan ayat 161 dari surat al-Nisa' yang mengandung kecaman atas orang-orang Yahudi yang memakan riba merupakan wahyu tahap ketiga dalam rangkaian pembicaraan al-Quran tentang riba.

Menurut al-Maraghi6 dan al-Shabuni,7 tahap-tahap pembicaraan al-Quran tentang riba sama dengan tahapan pembicaraan tentang khamr (minuman keras), yang pada tahap pertama sekadar menggambarkan adanya unsur negatif di dalamnya (QS al-Rum, 30: 39), kemudian disusul dengan isyarat tentang keharamannya (QS al-Nisa', 4: 161). Selanjutnya pada tahap ketiga, secara eksplisit, dinyatakan keharaman salah satu bentuknya (QS Ali 'Imran, 3: 130), dan pada tahap terakhir, diharamkan secara total dalam berbagai bentuknya (QS al-Baqarah, 2: 278).

Dalam menetapkan tuntutan pada tahapan tersebut di atas, kedua mufassir tersebut tidak mengemukakan suatu riwayat yang mendukungnya, sementara para ulama sepakat bahwa mustahil mengetahui urutan turunnya ayat tanpa berdasarkan suatu riwayat yang shahih, dan bahwa turunnya satu surat mendahului surat yang lain tidak secara otomatis menjadikan seluruh ayat pada surat yang dinyatakan terlebih dahulu turun itu mendahului seluruh ayat dalam surat yang dinyatakan turun kemudian. Atas dasar pertimbangan tersebut, kita cenderung untuk hanya menetapkan dan membahas ayat pertama dan terakhir menyangkut riba, kemudian menjadikan kedua ayat yang tidak jelas kedudukan tahapan turunnya sebagai tahapan pertengahan.

Hal ini tidak akan banyak pengaruhnya dalam memahami pengertian atau esensi riba yang diharamkan al-Quran, karena sebagaimana dikemukakan di atas, QS al-Nisa', 4: 161 merupakan kecaman kepada orang-orang Yahudi yang melakukan praktik-praktik riba. Berbeda halnya dengan ayat 130 dari surat Ali 'Imran yang menggunakan redaksi larangan secara tegas terhadap orang-orang Mukmin agar tidak melakukan praktik riba secara adh'afan mudha'afah. Ayat Ali 'Imran ini, baik dijadikan ayat tahapan kedua maupun tahapan ketiga, jelas sekali mendahului turunnya QS al-Baqarah, 2: 278, serta dalam saat yang sama turun setelah turunnya ayat QS al-Rum, 30: 39.

Di sisi lain, QS al-Rum, 30: 39 yang merupakan ayat pertama yang berbicara tentang riba, dinilai oleh para ulama Tafsir tidak berbicara tentang riba yang diharamkan. al-Qurthubi8 dan Ibn al-'Arabi9 menamakan riba yang dibicarakan ayat tersebut sebagai riba halal. Sedang Ibn Katsir menamainya riba mubah.10 Mereka semua merujuk kepada sahabat Nabi, terutama Ibnu 'Abbas dan beberapa tabiin yang menafsirkan riba dalam ayat tersebut sebagai "hadiah" yang dilakukan oleh orang-orang yang mengharapkan imbalan berlebih.Atas dasar perbedaan arti kata riba dalam ayat QS al-Rum di atas dengan kata riba pada ayat-ayat lain, al-Zarkasyi dalam al-Burhan11 menafsirkan sebab perbedaan penulisannya dalam mush-haf, yakni kata riba pada surat QS al-Rum ditulis tanpa menggunakan huruf waw, dan dalam surat-surat lainnya menggunakannya. Dari sini, Rasyid Ridha menjadikan titik tolak uraiannya tentang riba yang diharamkan dalam al-Quran bermula dari ayat Ali' Imran 131.12

Kalau demikian, pembahasan secara singkat tentang riba yang diharamkan al-Quran dapat dikemukakan dengan menganalisis kandungan ayat-QS Ali 'Imran, 3: 130 dan QS al-Baqarah, 2: 278, atau lebih khusus lagi dengan memahami kata-kata kunci pada ayat-ayat tersebut, yaitu (a) adh'afan mudha'afah; (b) ma baqiya mi al-riba; dan (c) fa lakum ru'usu amwalikum, la tazhlimuna wa la tuzhlamun.

Dengan memahami kata-kata kunci tersebut, diharapkan dapat ditemukan jawaban tentang riba yang diharamkan al-Quran. Dengan kata lain, "apakah sesuatu yang menjadikan kelebihan tersebut haram".

Pelbagai Pandangan di Seputar Arti Adh'âfan Mudhâ'afah

Dari segi bahasa, kata adh'af adalah bentuk jamak (plural) dari kata dha'if yang diartikan sebagai "sesuatu bersama dengan sesuatu yang lain yang sama dengannya (ganda)". Sehingga adh'afan mudha'afah adalah pelipatgandaan yang berkali-kali. Al-Thabari dalam tafsirnya mengemukakan sekitar riwayat yang dapat mengantar kita kepada pengertian adh'afan mudha'afah atau riba yang berlaku pada masa turunnya al-Quran. Riwayat-riwayat tersebut antara lain:

Dari Ibn Zaid bahwa ayahnya mengutarakan bahwa "riba pada masa jahiliyah adalah dalam pelipatgandaan dan umur (hewan). Seseorang yang berutang, bila tiba masa pembayarannya, ditemui oleh debitor dan berkata kepadanya, "Bayarlah atau kamu tambah untukku." Maka apabila kreditor memiliki sesuatu (untuk pembayarannya), ia melunasi utangnya, dan bila tidak ia menjadikan utangnya (bila seekor hewan) seekor hewan yang lebih tua usianya (dari yang pernah dipinjamnya). Apabila yang dipinjamnya berumur setahun dan telah memasuki tahun kedua (binti makhadh), dijadikannya pembayarannya kemudian binti labun yang berumur dua tahun dan telah memasuki tahun ketiga. Kemudian menjadi hiqqah (yang memasuki tahun keempat), dan seterusnya menjadi jaza'ah (yang memasuki tahun kelima), demikian berlanjut. Sedangkan jika yang dipinjamnya materi (uang), debitor mendatanginya untuk menagih, bila ia tidak mampu, ia bersedia melipatgandakannya sehingga menjadi 100, di tahun berikutnya menjadi 200 dan bila belum lagi terbayar dijadikannya 400. Demikian setiap tahun sampai ia mampu membayar.13

Mujahid meriwayatkan bahwa riba yang dilarang oleh Allah SWT adalah yang dipraktikkan pada masa jahiliyah, yaitu bahwa seseorang mempunyai piutang kepada orang lain, kemudian peminjam berkata kepadanya "untukmu (tambahan) sekian sebagai imbalan penundaan pembayaran", maka ditundalah pembayaran tersebut untuknya.14

Sementara itu, Qatadah menyatakan bahwa riba pada masa jahiliyah adalah penjualan seseorang kepada orang lain (dengan pembayaran) sampai pada masa tertentu. Bila telah tiba masa tersebut, sedang yang bersangkutan tidak memiliki kemampuan untuk membayar, ditambahlah (jumlah utangnya) dan ditangguhkan masa pembayarannya.15

Riwayat-riwayat di atas dan yang senada dengannya dikemukakan oleh para ulama Tafsir ketika membahas ayat 130 dari surat Ali 'Imran. Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi menyangkut riwayat-riwayat yang dikemukakan tersebut.

Pertama, penambahan dari jumlah piutang yang digambarkan oleh ketiga riwayat tidak dilakukan pada saat transaksi, tetapi dikemukakan oleh kreditor (riwayat ke-2) atau debitor (riwayat ke-3) pada saat jatuhnya masa pembayaran. Dalam hal ini, Ahmad Mustafa Al-Maraghi (1883-1951) berkomentar dalam tafsirnya:

"Riba pada masa jahiliyah adalah riba yang dinamai pada masa kita sekarang dengan riba fahisy (riba yang keji atau berlebih-lebihan), yakni keuntungan berganda. Tambahan yang fahisy (berlebih-lebihan) ini terjadi setelah tiba masa pelunasan, dan tidak ada dari penambahan itu (yang bersifat keji atau berlebihan itu) dalam transaksi pertama, seperti memberikan kepadanya 100 dengan (mengembalikan) 110 ataukah lebih atau kurang (dari jumlah tersebut). Rupanya mereka itu merasa berkecukupan dengan keuntungan yang sedikit (sedikit penambahan pada transaksi pertama). Tetapi, apabila telah tiba masa pelunasan dan belum lagi dilunasi, sedangkan peminjam ketika itu telah berada dalam genggaman mereka, maka mereka memaksa untuk mengadakan pelipatgandaan sebagai imbalan penundaan. Dan inilah yang dinamai riba al-nasi'ah (riba akibat penundaan). Ibn 'Abbas berpendapat bahwa nash Al-Quran menunjuk kepada riba al-nasi'ah yang dikenal (ketika itu).16

Kedua, pelipatgandaan yang disebutkan pada riwayat pertama adalah perkalian dua kali, sedangkan pada riwayat kedua dan ketiga pelipatgandaan tersebut tidak disebutkan, tetapi sekadar penambahan dari jumlah kredit. Hal ini mengantar kepada satu dari dua kemungkinan: (1) memahami masing-masing riwayat secara berdiri sendiri, sehingga memahami bahwa "riba yang terlarang adalah penambahan dari jumlah utang dalam kondisi tertentu, baik penambahan tersebut berlipat ganda maupun tidak berlipat ganda; (2) memadukan riwayat-riwayat tersebut, sehingga memahami bahwa penambahan yang dimaksud oleh riwayat-riwayat yang tidak menyebutkan pelipatgandaan adalah penambahan berlipat ganda. Pendapat kedua ini secara lahir didukung oleh redaksi syah.

Dalam menguraikan riwayat-riwayat yang dikemukakan di atas, dan riwayat-riwayat lainnya, al-Thabari menyimpulkan bahwa riba adh'afan mudha'afah adalah penambahan dari jumlah kredit akibat penundaan pembayaran atau apa yang dinamai dengan riba al-nasi'ah. Menurut al-Thabari, seseorang yang mempraktikkan riba dinamai murbin karena ia melipatgandakan harta yang dimilikinya atas beban pengorbanan debitor baik secara langsung atau penambahan akibat penangguhan waktu pembayaran.17

Kesimpulan al-Thabari di atas didukung oleh Muhammad Rasyid Ridha yang menurutnya juga merupakan kesimpulan Ibn Qayyim.18

'Abdul Mun'in Al-Namir, salah seorang anggota Dewan Ulama-ulama terkemuka Al-Azhar dan wakil Syaikh Al-Azhar, menyimpulkan bahwa: "Riba yang diharamkan tergambar pada seorang debitor yang memiliki harta kekayaan yang didatangi oleh seorang yang butuh, kemudian ia menawarkan kepadanya tambahan pada jumlah kewajiban membayar utangnya sebagai imbalan penundaan pembayaran setahun atau sebulan, dan pada akhirnya yang bersangkutan (peminjam) terpaksa tunduk dan menerima tawaran tersebut secara tidak rela."19Di atas telah dikemukakan bahwa kata adh'afan mudha'afah berarti berlipat ganda. Sedangkan riwayat-riwayat yang dikemukakan ada yang menjelaskan pelipatgandaan dan ada pula yang sekadar penambahan. Kini kita kembali bertanya: Apakah yang diharamkan itu hanya yang penambahan yang berlipat ganda ataukah segala bentuk penambahan dalam kondisi tertentu?
Yang pasti adalah bahwa teks ayat berarti "berlipat ganda". Mereka yang berpegang pada teks tersebut menyatakan bahwa ini merupakan syarat keharaman. Artinya bila tidak berlipat ganda, maka ia tidak haram. Sedangkan pihak lain menyatakan bahwa teks tersebut bukan merupakan syarat tetapi penjelasan tentang bentuk riba yang sering dipraktikkan pada masa turunnya ayat-ayat al-Quran. Sehingga, kata mereka lebih lanjut, penambahan walaupun tanpa pelipatgandaan adalah haram.

Hemat kami, untuk menyelesaikan hal ini perlu diperhatikan ayat terakhir yang turun menyangkut riba, khususnya kata-kata kunci yang terdapat di sana. Karena, sekalipun teks adh'afan mudha'afah merupakan syarat, namun pada akhirnya yang menentukan esensi riba yang diharamkan adalah ayat-ayat pada tahapan ketiga.Di sini yang pertama dijadikan kunci adalah firman Allah wa dzaru ma bagiya min al-riba. Pertanyaan yang timbul adalah: Apakah kata al-riba yang berbentuk ma'rifah (definite) ini merujuk kepada riba adh'afan mudha'afah ataukah tidak?

Rasyid Ridha dalam hal ini mengemukakan tiga alasan untuk membuktikan bahwa kata al-riba pada QS al-Baqarah ini merujuk kepada kata al-riba yang berbentuk adh'afan mudha'afah itu.20
Pertama, kaedah kebahasaan, yaitu kaedah pengulangan kosakata yang berbentuk ma'rifah. Yang dimaksud oleh Rasyid Ridha adalah kaedah yang menyatakan apabila ada suatu kosakata berbentuk ma'rifah berulang, maka pengertian kosakata kedua (yang diulang) sama dengan kosakata pertama. Kata al-riba pada QS Ali 'Imran, 3: 130 dalam bentuk ma'rifah, demikian pula halnya pada QS al-Baqarah, 2: 278. Sehingga hal ini berarti bahwa riba yang dimaksud pada ayat tahapan terakhir sama dengan riba yang dimaksud pada tahapan kedua yaitu yang berbentuk adh'afan mudha'afah.

Kedua, kaedah memahami ayat yang tidak bersyarat berdasarkan ayat yang sama tetapi bersyarat. Penerapan kaedah ini pada ayat-ayat riba adalah memahami arti al-riba pada ayat al-Baqarah yang tidak bersyarat itu berdasarkan kata al-riba yang bersyarat adh'afan mudha'afah pada Ali 'Imran. Sehingga, yang dimaksud dengan al-riba pada ayat tahapan terakhir adalah riba yang berlipat ganda itu.

Ketiga, diamati oleh Rasyid Ridha bahwa pembicaraan al-Quran tentang riba selalu digandengkan atau dihadapkan dengan pembicaraan tentang sedekah, dan riba dinamainya sebagai zhulm (penganiayaan atau penindasan).

Apa yang dikemukakan oleh Rasyid Ridha di atas tentang arti riba yang dimaksud oleh al-Quran pada ayat tahapan terakhir dalam al-Baqarah tersebut, masih dapat ditolak oleh sementara ulama -- antara lain -- dengan menyatakan bahwa kaedah kebahasaan yang diungkapkannya itu tidak dapat diterapkan kecuali pada rangkaian satu susunan redaksi, bukan dalam redaksi yang berjauhan sejauh al-Baqarah dengan Ali 'Imran, serta dengan menyatakan bahwa kata adh'afan mudha'afah bukan syarat tetapi sekadar penjelasan tentang keadaan yang lumrah ketika itu, sehingga dengan demikian kaedah kedua pun tidak dapat diterapkan. Walaupun demikian, menurut hemat penulis, kesimpulan Rasyid Ridha tersebut dapat dibenarkan. Pembenaran ini berdasarkan riwayat-riwayat yang jelas dan banyak tentang sebab nuzul ayat Al-Baqarah tersebut.

Kesimpulan riwayat-riwayat tersebut antara lain:

  1. Al-'Abbas (paman Nabi) dan seorang dari keluarga Bani al-Mughirah bekerja sama memberikan utang secara riba kepada orang-orang dari kabilah Tsaqif. Kemudian dengan datangnya Islam (dan diharamkannya riba) mereka masih memiliki (pada para debitor) sisa harta benda yang banyak, maka diturunkan ayat ini (QS al-Baqarah, 2: 278) untuk melarang mereka memungut sisa harta mereka yang berupa riba yang mereka praktikkan ala jahiliyah itu.21
  2. Ayat tersebut turun menyangkut kabilah Tsaqif yang melakukan praktik riba, kemudian (mereka masuk Islam) dan bersepakat dengan Nabi untuk tidak melakukan riba lagi. Tetapi pada waktu pembukaan kota Makkah, mereka masih ingin memungut sisa uang hasil riba yang belum sempat mereka pungut yang mereka lakukan sebelum turunnya larangan riba, seakan mereka beranggapan bahwa larangan tersebut tidak berlaku surut. Maka turunlah ayat tersebut untuk menegaskan larangan memungut sisa riba tersebut.22Atas dasar riwayat-riwayat tersebut dan riwayat-riwayat lainnya, Ibn Jarir menyatakan bahwa ayat-ayat tersebut berarti: "Tinggalkanlah tuntutan apa yang tersisa dari riba, yakni yang berlebih dari modal kamu..."23Karena itu, sungguh tepat terjemah yang ditemukan dalam al-Quran dan Terjemahnya, terbitan Departemen Agama, yakni "Tinggalkanlah sisa riba yang belum dipungut."

Atas dasar ini, tidak tepat untuk menjadikan pengertian riba pada ayat terakhir yang turun itu melebihi pengertian riba dalam QS Ali 'Imran yang lalu (adh'afan mudha'afah). Karena riba yang dimaksud adalah riba yang mereka lakukan pada masa yang lalu (jahiliyah). Sehingga pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa riba yang diharamkan al-Quran adalah yang disebutkannya sebagai adh'afan mudha'afah atau yang diistilahkan dengan riba al-nasiah.

Kembali kepada masalah awal. Apakah hal ini berarti bahwa bila penambahan atau kelebihan tidak bersifat "berlipatganda" menjadi tidak diharamkan al-Quran?

Jawabannya,menurut hemat kami, terdapat pada kata kunci berikutnya, yaitu fa lakum ru'usu amwalikum (bagimu modal-modal kamu) (QS 2:279). Dalam arti bahwa yang berhak mereka peroleh kembali hanyalah modal-modal mereka. jika demikian, setiap penambahan atau kelebihan dari modal tersebut yang dipungut dalam kondisi yang sama dengan apa yang terjadi pada masa turunnya ayat-ayat riba ini tidak dapat dibenarkan. Dan dengan demikian kata kunci ini menetapkan bahwa segala bentuk penambahan atau kelebihan baik berlipat ganda atau tidak, telah diharamkan al-Quran dengan turunnya ayat tersebut. Dan ini berarti bahwa kata adh'afan mudha'afah bukan syarat tetapi sekadar penjelasan tentang riba yang sudah lumrah mereka praktikkan.

Kesimpulan yang diperoleh ini menjadikan persoalan kata adh'afan mudha'afah tidak penting lagi, karena apakah ia merupakan syarat atau bukan, apakah yang dimaksud dengannya pelipatgandaan atau bukan, pada akhirnya yang diharamkan adalah segala bentuk kelebihan. Namun perlu digarisbawahi bahwa kelebihan yang dimaksud adalah dalam kondisi yang sama seperti yang terjadi pada masa turunnya al-Quran dan yang diisyaratkan oleh penutup QS al-Baqarah, 2: 279 tersebut, yaitu la tazhlimun wa la tuzhlamun (kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya).

Kesimpulan yang diperoleh dari riwayat-riwayat tentang praktik riba pada masa turunnya al-Quran, sebagaimana telah dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa praktik tersebut mengandung penganiayaan dan penindasan terhadap orang-orang yang membutuhkan dan yang seharusnya mendapat uluran tangan. Kesimpulan tersebut dikonfirmasikan oleh penutup QS al-Baqarah, 2: 279 di atas, sebagaimana sebelumnya ia diperkuat dengan diperhadapkannya uraian tentang riba dengan sedekah, seperti dikemukakan Rasyid Ridha, yang menunjukkan bahwa kebutuhan si peminjam sedemikian mendesaknya dan keadaannya sedemikian parah, sehingga sewajarnya ia diberi bantuan sedekah, bukan pinjaman, atau paling tidak diberi pinjaman tanpa menguburkan sedekah. Kemudian pada QS al-Bqarah, 2: 280 ditegaskan bahwa, Dan jika orang yang berutang itu dalam kesulitan (sehingga tidak mampu membayar pada waktu yang ditetapkan) maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan, dan kamu menyedekahkan (sebagian atau semua utang itu) lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui. Ayat-ayat di atas lebih memperkuat kesimpulan bahwa kelebihan yang dipungut, apalagi bila berbentuk pelipatgandaan, merupakan penganiayaan bagi si peminjam.

Kesimpulan

Kesimpulan terakhir yang dapat kita garisbawahi adalah bahwa riba pada masa turunnya al-Quran adalah kelebihan yang dipungut bersama jumlah utang yang mengandung unsur penganiayaan dan penindasan, bukan sekadar kelebihan atau penambahan jumlah utang.
Kesimpulan di atas diperkuat pula dengan paktek Nabi saw. yang membayar utangnya dengan penambahan atau nilai lebih. Sahabat Nabi, Abu Hurairah, memberitahukan bahwa Nabi saw. pernah meminjam seekor unta dengan usia tertentu kepada seseorang, kemudian orang tersebut datang kepada Nabi untuk menagihnya. Dan ketika itu dicarikan unta yang sesuai umurnya dengan unta yang dipinjamnya itu tetapi Nabi tidak mendapatkan kecuali yang lebih tua. Maka beliau memerintahkan untuk memberikan unta tersebut kepada orang yang meminjamkannya kepadanya, sambil bersabda, "Inna khayrakum ahsanukum qadhâ'an" (Sebaik-baik kamu adalah yang sebaik-baiknya membayar utang).
Jabir, sahabat Nabi, memberitahukan pula bahwa ia pernah mengutangi Nabi saw. Dan ketika ia mendatangi beliau, dibayarnya utangnya dan dilebihkannya. Hadis di atas kemudian diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.24

Benar bahwa ada pula riwayat yang menyatakan bahwa kullu qardhin jarra manfa'atan fahuwa harâm (setiap piutang yang menarik atau menghasilkan manfaat, maka ia adalah haram). Tetapi hadis ini dinilai oleh para ulama hadis sebagai hadis yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya, sehingga ia tidak dapat dijadikan dasar hukum.25

Sebagai penutup, ada baiknya dikutip apa yang telah ditulis oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar, setelah. menjelaskan arti riba yang dimaksud al-Quran:

"Tidak pula termasuk dalam pengertian riba, jika seseorang yang memberikan kepada orang lain harta (uang) untuk diinvestasikan sambil menetapkan baginya dari hasil usaha tersebut kadar tertentu. Karena transaksi ini menguntungkan bagi pengelola dan bagi pemilik harta, sedangkan riba yang diharamkan merugikan salah seorang tanpa satu dosa (sebab) kecuali keterpaksaannya, serta menguntungkan pihak lain tanpa usaha kecuali penganiayaan dan kelobaan. Dengan demikian, tidak mungkin ketetapan hukumnya menjadi sama dalam pandangan keadilan Tuhan dan tidak pula kemudian dalam pandangan seorang yang berakal atau berlaku adil."26

Catatan Kaki:

  1. Dalam beberapa riwayat dinyatakan bahwa ayat terakhir turun sembilan hari sebelum Rasulullah saw. wafat.
  2. Lihat Ibn Hazm, Al-Muhalla, Mesir: al-Munir, 1350 H, Jilid VH1, h. 477.
  3. Ibid.
  4. Lihat Jalaluddin al-Suyuthiy, Al-Itqan fi 'Ulum Al-Qur'an, Mesir: Al-Azhar, 1318, H, Jilid I, h. 27.
  5. Abdullah al-Zanjaniy, Tarikh Al-Qur'an, Beirut: Al-'Alamiy, 1969, h. 60.
  6. Ahmad Mushthafa al-Maraghiy, Tafsir Al-Maraghiy, Mesir: Mushthafa al-Babi Al-Halabiy, 1946, jilid III, h. 59 dst.
  7. Muhammad 'Ali al-Shabuniy, Tafsir Ayat Al-Ahkam, Beirut: Dar Al-Qalam, 1971, jilid I, h. 389.
  8. Muhammad bin Ahmad al-Anshariy Al-Qurthubiy, Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an, Kairo: Dar al-Kutub, 1967, jilid XIV, h. 36.
  9. Abu Bakar Muhammad bin Abdillah (Ibn al-'Arabiy), Ahkam Al-Qur'an, tahqiq Muhammad Ali Al-Bajawi, Mesir: 'Isa al-Babi Al-Halabiy, 1957, Jilid III, h. 1479.
  10. Ibn Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, Singapura: Sulaiman Mar'iy, t.t., jilid III, h. 434.
  11. Lihat Badruddin al-Zarkasyiy, Al-Burhan fi 'Ulum Al-Qur'an, Tahqiq Muhammad Abu Al-Fadhil, Mesir: Isa al-Babi al-Halabiy, 1957, jilid I., h. 409.
  12. Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Mesir: Dar Al-Manar, 1376 H., jilid III, h. 113.
  13. Lihat Muhammad Ibn Jarir Al-Thabariy, Jami' al-Bayan fi Tafsir Al-Qur'an, Mesir: Isa al-Babi al-Halabiy, 1954, Jilid IV, h. 90.
  14. Ibid, Jilid III, h. 101.
  15. Ibid.
  16. Ahmad Mushthafa Al-Maraghiy, Al-Maraghiy, Jilid IV, h. 65.
  17. Al-Thabariy, Jami' al-Bayan, Jilid III, h. 101.
  18. Rasyid Ridha, al-Manar, Jilid II, h. 113-114.
  19. Abdul Mun'im Al-Nandr, Al-Ijtihad, Kairo: Dar al-Syuruq, 1986, h. 351.
  20. Rasyid Ridha, al-Manar.
  21. Al-Thabariy, Jami' al-Bayan, Jilid III, h. 106-107.
  22. Ibid.
  23. Ibid.
  24. Muhammad bin 'Ali Al-Syawkaniy, Nayl Al-Authar, Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabiy, 1952, Jilid V, h. 245.
  25. Muhammad bin Isma'il Al-Kahlaniy Al-Shan'aniy, Subul Al-Salam, Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabiy, 1950, Jilid III, h. 53.
  26. Rasyid Ridha, al-Manar.

Selasa, 13 Januari 2009

Arsitektur BMT Indonesia ( ABI)


Pada akhir tahun 2006, Pusat Inkuabsi Bisnis Usaha Kecil ( Pinbuk) sebagai lembaga yang mempunyai kepedulian dalam pengembangan ekonomi syari’ah di Indonesia terutama melalui pengembangan Baitul Maal wat Tamwil (BMT) sebagai suatu sistem intermediasi keuangan, telah melaksanakan Rapat kerja nasional dan salah satu keputusannya adalah perumusan Arsitektur BMT Indonesia ( ABI).

Perumusan ABI ini sebagai upaya Pinbuk dalam rangka pengembangan dan mencari bentuk ideal pengembangan BMT dimasa yang akan datang, ABI ini dapat dijadikan sebagai patokan bagi pengembangan BMT sebagai sebuah sistem intermediasi keuangan bersisi syari’ah di level mikro. Implementasi ABI tidak bisa hanya dilakukan oleh pinbuk saja, tetapi harus melibatkan oleh seluruh stakeholder pelaksana BMT.

Disamping itu perumusan ABI dilakukan untuk mengembalikan BMT pada visi dan misinya yaitu :

Visi
Visi BMT adalah menjadi lembaga keuangan yang mandiri, sehat dan kuat, yang kualitas ibadah anggotanya meningkat sedemikian rupa sehingga mampu berperan menjadi wakil pengabdi Allah memakmurkan kehidupan anggota pada khususnya dan ummat manusia pada umumnya.

Misi

Misi BMT adalah mewujudkan gerakan pembebasan anggota & masyarakat dari belenggu rentenir, jerat kemiskinan & ekonomi ribawi, gerakan pemberdayaan meningkatkan kapasitas dalam kegiatan ekonomi riil dan kelembagaannya menuju tatanan perekonomian yang makmur dan maju dan gerakan keadilan membangun struktur masyarakat madani yang adil berkemakmuran – berkemajuan, serta makmur – maju berkeadilan berlandaskan syari’ah dan ridha Allah SWT.

Dalam rangka implementasi ABI diatas maka dirumuskan 7 Pilar Arsitektur BMT Indonesia, yaitu :

7 Pilar Arsitektur BMT Indonesia

1. Perkuatan Kelembagaan BMT (Pilar I)
2. Peningkatan Kualitas Tata Kelola BMT (Pilar II)
3. Peningkatan Fungsi Pengawasan BMT (Pilar III)
4. Peningkatan Kualitas Manajemen dan Operasional BMT (Pilar IV)
5. Pengembangan Infrastruktur BMT (Pilar V)
6. Peningkatan Perlindungan anggota BMT (Pilar VI)
7. Peningkatan dan pengembangan Sosial Insurance ( Pilar VII).

Program implementasi ABI (Arsitektur BMT Indonesia) dilaksanakan secara bertahap yang dimulai pada tahun 2007 sampai 2017. dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:


Penjabaran dari pilar tersebut diatas :

1. Program Perkuatan Kelembagaan BMT (Pilar I)
a. Mewujudkan BMT sebagai sistem dan Badan Hukum Lembaga Keuangan Mikro Syariah .
b. Memperkuat struktur permodalan BMT
Modal awal
- min Pendiri 20 0rg
- Minimal 50 juta
Rasio Kecukupan Modal Minimum : 10%
c. Memperkuat Profesionalisme dan ESIQ (Emotional, Spiritual, Intelectual) SDM
- Lulus pelatihan dasar pengelola dasar BMT
- Tersertifikasi
- Minimal pengelola 3 orang fulltime ( manager /pembiayaan, Teller/CS,Pembukuan)

2. Program Peningkatan Kualitas tata kelola BMT (Pilar II)
d. Mewujudkan standar kesehatan BMT
e. Memperkuat audit internal dan daya saing BMT
f. Mewujudkan sistem pengawasan dan supervisi BMT
g. Mewujudkan sistem syari’ah yang standar di BMT .
h. Mewujudkan kode etik Pengurus dan Pengelola BMT

3. Program Peningkatan Fungsi Pengawasan BMT (Pilar III)
i. Mewujudkan adanya pengawas BMT yang independen
j. Meningkatkan kompetensi pengawas BMT
k. Meningkatkan sistem pengawasan berbasis risiko
- manajemen kolektibilitas (Lancar,kr lancar,diragukan, macet)
l. Meningkatan efektivitas penegakan disiplin ( enforcement)

4. Program Peningkatan Kualitas Manajemen dan Operasional BMT (Pilar IV)
m. Meningkatkan Good Corporate Governance BMT
- Tidak boleh perangkapan fungsi pengelola dan pengawas
- Pengaturan pembiayaan pada pihak terkait
n. Meningkatkan manajemen mutu BMT
o. Meningkatkan Manajemen Asset dan Liabilitas BMT
p. Meningkatkan kualitas manajemen risiko BMT
q. Meningkatkan kemampuan operasional BMT

5. Program Pengembangan Infrastruktur BMT (Pilar V)
r. Mewujudkan Lembaga Apex (whole saler) bagi BMT
s. Mewujudkan Lembaga Pengawas BMT
t. Mewujudkan Lembaga Sertifikasi Profesi Pengelola BMT
u. Mewujudkan Lembaga Penjamin Simpanan BMT ?
v. Mewujudkan Institute BMT Indonesia
w. Mewujudkan Lembaga Rating/akreditasi BMT

6. Program Peningkatan Perlindungan Nasabah BMT (Pilar VI)
x. Meningkatkan rasa aman dan nyaman menabung di BMT
y. Menyusun transparansi pelaporan kinerja BMT
z. Menyusun pola pendampingan dan pembinaan nasabah

7. Program Peningkatan dan pengembangan Sosial Insurance ( Pilar VII)..
å. Mewujudkan model pengelolaan baitul maal.
ä. Penyusunan model pengembangan lingkungan sekitar BMT
cc. Menyusun program micro insurance bagi nasabah

TAHAPAN :

Tahap 1 : 5 tahun pertama : Pilar 1,2,3,4
Tahap 2 : 5 tahun kedua : Pilar 5,6,7

Senin, 08 Desember 2008

Mukadimah ...

Dengan lagu seruling bambu menyampakan kisah pilu perpisahan. Tuturnya, " sejak aku terpisah dengan asal usulku, pokok bambu yang rimbun, ratapku membuat lelaki dan wanita mengaduh.

Kuingin sebuah dada koyak sebab terpisah jauh dari orang yang dicintai.

Dengan demikian, dapat kupaparkan kepiluan berahi cinta. Setiap orang yang hidup jauh dari kampung halamannya akan merindukan saat-saat tatkala dia masih berkumpul dengan sanak keluarganya.

Nada-nada senduku senantiasa kunyanyikan dalam setiap majelis pertemuan, aku duduk bersama mereka yang riang dan sedih.

Rahasia laguku tidak jauh dari asal-usul ratapku. namun, apakah ada telinga yang mendengar dan mata melihat ?.

Tubuh tak terdingdig roh, pun roh tak terdingding dari tubuh, namun, tak seorang diperbolehkan melihat roh.

Bunyi seruling yang riuh ialah kobaran api, bukan desir angin yang berhembus; mereka tak mempunyai api, akan sia-sia hidupnya.

Inilah api cinta yang tersembunyi dalam seruling bambu, inilah bara semangat cinta yang dikandung anggur.

Seruling adalah sahabat mereka yang terpisah dari sahabat karibnya: lagunya menyayat kalbu.

Siapa orang yang melihat racun dan obat penawarnya sekaligus seprti seruling ? siapa yang pernah menyaksikan orang berkabung dan pecinta menuturkan rindu dendamnya seperti seruling ?

Seruling menyanyikan kisah jalan tergenang darah dan menyingkap lagi rindu dendam majenun.

Hanya untuk mereka yang tidak mengerti pemahaman dan kepahaman disampaikan : lidah tak mempunyai pelanggan selain telinga.

Dalam pilu hari-hari hayat kami berlaku tak kenal waktu, hati-hati kami berjalan bersama kepiluan membara.

Kalau kami mesti pergi, biarlah ia pergi ! kami tidak peduli. kekallah kau, sebab tidak kekudus kau.

Mereka tidak puas pada air-Nya bukanlah ikan : mereka tidak punya roti untuk makan sehari-hari akan merasa betapa lamanya detik-detik waktu berlalu.Tidak ada barang mentah yang mengerti makna kemasak.

Karena itu, kini kuringkas kata-kataku selamat tinggal !.

Anakku, patahkan belenggu yang mengikatmu dan bebaskan dirimu ! berapa lama kau akan terikat pada emas dan perak.

Apabila air laut kau tuang kedalam kendi, berapa teguk yang dapat kau tampung ? Paling-paling hanya cukup untuk minum sehari.

Kendi itu, mata yang tak pernah kenyang itu, tak akan pernah penuh : Ingatlah, kerang tidak akan berisi mutiara sebelum dirinya penuh.

Dia yang meminjamkan jubahnya dengan rasa cinta akan bersih dari ketamakan dan kekurangan.

Selamat datang, O, cinta yang memberikan keberuntungan indah--- kaulah tabib segala sakit kami, pemulih keangkuhan dan kesombongan, Filosof dan Dokter kami.

Dengan cinta, tubuh tanah liat ini dapat terbang ke angkasa raya, mikraj: gunung menari dan tangkas gerakanya.

Cinta menurunkan ilham kepada gunung sinai mabuk dan ' Musa jatuh pingsan' .

Apabila aku mengikuti bibir yang sehaluan denganku, aku akan seperti seruling, manajamkan semua yang dapat kutajamkan.

Tetapi, dia yang dipisahkan darinya akan membisu, walaupun tahu syair dan gurindam.

Apabila mawar pergi dan taman lenyap, kisah burung bulbul tak akan terdengar lagi olehmu.

Ke kasih ialah segala-galanya, dan pecinta adalah tabirnya. Kekasih ialah hidup dan pecinta itu mati. Kalau cinta tak memedulikan, jadilah dia burung tanpa sayap.

Bagaimana kesadaran ada didepan dan samping, jika cahaya kekasihku tidak ada di depan dan disampingku ?.

Cinta ingin dunia ini dijelmakan: jika cermin tak memantulkan bayangan, apa sebabnya ? Taukah kau mengapa cermin jiwa tak memantulkan satupun bayangan ? karena karatnya tak pernah dibersihkan....

Oh. sahabat, dengar kisah ini : hanya dalam kebenaran sumsum kepribadian roh kami terkandung.


Matsnawi,
Jalaluddin Rumi